pimpinanpusat@himmah.or.id

Ketua Umum PP HIMMAH: Reformasi Polri atau Reformasi Pikiran Kita

15 Sep 2025 Politik
Ketua Umum PP HIMMAH: Reformasi Polri atau Reformasi Pikiran Kita

Foto: Dokumentasi HIMMAH

JAKARTA(15/9/2025) Desakan reformasi terhadap Polri kembali mencuat pasca kericuhan demonstrasi akhir Agustus lalu. Gerakan Nurani Bangsa (GNB) bahkan meminta Presiden Prabowo Subianto segera melakukan reformasi menyeluruh terhadap kepolisian. Namun, di tengah tuntutan itu, suara kritis sekaligus reflektif muncul dari Ketua Umum Pimpinan Pusat Himpunan Mahasiswa Al-Washliyah (PP HIMMAH), Abdul Razak Nasution.

“Bila kebencian sudah tertanam akibat kesalahan individu-individu di kepolisian, jangan menyalahkan institusinya. Pemikiran-pemikiran seperti ini yang perlu direformasi,” ujarnya dalam keterangan kepada media.

Pernyataan Razak menyiratkan adanya tarik menarik antara dua kutub. Satu sisi, keinginan publik agar Polri berubah lebih cepat. Di sisi lain, pengakuan bahwa institusi kepolisian sejatinya sudah menorehkan banyak prestasi dalam menjaga stabilitas keamanan.

Usulan reformasi Polri, sebenarnya bukan barang baru. Sejak era reformasi 1998, kepolisian selalu berada di ruang sorotan publik. Kasus represivitas, dugaan pelanggaran HAM, hingga perilaku oknum yang koruptif kerap dijadikan alasan tuntutan perubahan struktural.

Namun, pertanyaan kuncinya: apakah reformasi benar-benar solusi, atau justru sekadar retorika politik?

Razak menegaskan, terlalu sering wacana “reformasi Polri” justru menjadi alat untuk mendiskreditkan, tanpa melihat fakta objektif bahwa Polri juga bertransformasi melalui program presisi dan pola pendekatan humanis.

“Wacana mereformasi Polri itu bisa membuat retreating. Harus jelas dong! Prestasi dan keberhasilan tak dipandang hanya karena satu kesalahan,” katanya menekankan.

Dalam pandangan Razak, realitas di lapangan memperlihatkan dilema. Saat aksi unjuk rasa berlangsung, polisi kerap menjadi pihak yang serba salah. Jika bertindak tegas, dituduh represif. Jika terlalu humanis, dianggap membiarkan anarki merajalela.

“Bila demonstran bertindak anarkis, apakah polisi harus diam? Pejabat yang jadi objek demonstrasi tidak berani turun memberi penjelasan. Tapi ketika pengunjuk rasa merusak aset negara, yang disalahkan polisi. Begitu juga saat polisi bertindak represif, tetap polisi yang disalahkan,” Razak mencontohkan.

Pernyataan Razak tersebut menguak paradoks mendasar: aparat penegak hukum menanggung beban kegagalan komunikasi politik antara pemerintah dan rakyat. Polisi menjadi “tameng” di garis depan, sementara pejabat publik yang mestinya bertanggung jawab justru kerap menghilang.

Meski membela institusi kepolisian, Razak tidak menutup mata bahwa ada ruang perbaikan fundamental. Ia mendorong agar nilai-nilai HAM masuk ke kurikulum pendidikan kepolisian. Baginya, ini menjadi kunci lahirnya polisi yang lebih beradab dan sipil. “Harus membentuk kepolisian yang jauh lebih civilized, mengedepankan sipil,” tuturnya.

Sejauh ini, ucap Razak, perdebatan akan mengerucut pada pertanyaan mendasar: apakah reformasi Polri perlu dilakukan secara struktural besar-besaran, atau cukup dengan pembenahan internal melalui pendidikan, pengawasan, dan penegakan kode etik?

Razak, dalam posisinya sebagai aktivis sekaligus pimpinan organisasi mahasiswa, menilai pilihan kedua lebih realistis. Melalui pendidikan, pengawasan dan penegakan kode etik, itu lebih rasional ketimbang menciptakan forum perdebatan panjang yang berujung politisasi,” katanya seraya menyebut selama pejabat publik masih melempar tanggung jawab ke polisi saat krisis, maka Polri akan terus menjadi pihak yang dipersalahkan.